Ringkasan - Pemimpin sering kali merasa tidak nyaman berurusan dengan karyawan yang sedang dilanda kekecewaan. atau demotivasi Mereka sering kali ingin menahan perasaannya, khawatir akan berdampak buruk pada anggota tim lainnya. Sebaliknya, pemimpin harus berusaha untuk melatih orang-orang untuk mengungkap emosi yang dihasilkan oleh hal kurang baik yang sedang dialami, lalu membantu anggota tim tersebut untuk mendapatkan kritikan yang frontal, dan kemudian menyalurkan energi mereka untuk mendorong tindakan positif.
Demotivasi, kesulitan, hal buruk pasti disertai dengan emosi negatif. Seseorang yang mengalami kerugian besar, tidak mendapat promosi, atau memperoleh hasil triwulanan yang buruk pasti akan merasa kecewa, frustrasi, atau marah.
Kebanyakan pemimpin, ketika dihadapkan dengan anggota tim yang sedang kesal, memandang emosi negatif sebagai penyakit menular yang harus dibendung sebelum menular ke tim yang lebih luas. Atau mereka melihatnya sebagai masalah yang harus segera diselesaikan agar organisasi dapat kembali normal. Namun kerja sama kami dengan beberapa pihak telah menunjukkan bahwa para pemimpin dapat belajar membantu anggota tim menyalurkan emosi negatif mereka dan mengubahnya menjadi alat yang ampuh untuk memotivasi orang-orang yang mengalami demoralisasi dan membuka potensi mereka.
Ketidakpuasan batin dan energi yang menyertai emosi negatif dapat mendorong orang ke tingkat tekad dan kerja keras yang lebih tinggi. Ketika anggota tim Anda menghadapi kekecewaan atau kegagalan, Anda dapat menggunakannya untuk memberdayakan atau memperkuat mereka. Intinya adalah mengetahui bagaimana melakukan percakapan produktif seputar emosi negatif. Berikut ini cara menavigasi tiga momen penting dalam percakapan untuk menyalurkan emosi negatif menjadi pertumbuhan positif :
1. Validasikan Perasaannya Melalui Ucapan Lalu Tunggu Tanggapan Darinya
Banyak pemimpin yang mencoba menyelamatkan orang-orang dari emosi negatif atau menjauhinya. Tidak ada pendekatan yang efektif karena keduanya hanya menutupi perasaan yang kuat, mengabaikan energi yang sedang bergejolak. Sebaliknya, libatkan anggota tim yang kecewa. Validasikan emosi negatif tersebut melalui perkataan/ucapan dan ajaklah mereka untuk membicarakannya. Seorang mitra senior tempat saya bekerja di sebuah perusahaan konsultan tidak diikutsertakan dalam sebuah program promosi. Dia terkejut dan terluka. Banyak orang di lingkarannya mencoba menyelamatkannya dari emosi negatif tersebut. Mereka mengatakan kepadanya bahwa dia hebat, bahwa dia tidak boleh putus asa, bahwa dia akan bangkit kembali dalam waktu singkat.
Namun apakah yang terjadi selanjutnya? Mitra senior terebut justru mengakhiri percakapan dengan mengucapkan. “Itu tidak membantu,” katanya. “Saya tidak punya tempat untuk berdiskusi setelah itu selain mengucapkan terima kasih yang tidak tulus.”
Ada pendekatan yang lebih efektif: beri label pada emosi tersebut dan mintalah tanggapan. “Sepertinya kamu benar-benar kecewa,” aku menawarkan. Setelah jeda yang lama, dia berkata, “Sejujurnya, saya tidak kecewa – saya merasa dikhianati.”
Jangan khawatir salah, seperti saya. Ambil saja tebakan terbaik Anda. Saat Anda memvalidasi emosi seseorang melalui ucapan/perkataan, mereka akan langsung setuju atau mengoreksi Anda. Mereka tidak akan bisa menghentikan diri mereka sendiri. Dengan demikian, baik pimpinan ataupun anggota tim mendapatkan informasi yang kami perlukan untuk melangkah ke tahap pembicaraan selanjutnya.
Dia memberitahuku betapa marahnya dia, tapi juga betapa terlukanya dia. Dia bilang dia ingin bertarung, tapi juga ingin mundur. Saat dia mencurahkan perasaannya, dia tampak semakin bersemangat. Energi di bawah emosi itu muncul. Energi itulah yang ingin Anda salurkan ke arah yang konstruktif.
2. Provokasi Self-Coach pada Diri Anggota Tim, Bukan Self-Critic
Self-coach yang positif sangat membantu; orang yang membudayakan self-critic dalam kehidupannya adalah tindakan yang merusak diri sendiri. Coach/mentor yang efektif melibatkan orang-orang dalam menciptakan jawaban yang produktif terhadap pertanyaan, “Apa hal yang dipikirkan ketika emosi tersebut muncul?”. Seseorang yang membudayakan self-critic akan menjawab dengan segala kekurangan karakter yang dimiliki menurutnya seperti : “Saya bodoh, malas, tidak disukai.” Sedangkan seseorang yang membudayakan self-coach akan menjawab dengan kata-kata yang cenderung mengarah pada aksi positif seperti : “Saya perlu bekerja lebih keras, berpikir secara berbeda, dan merekrut dukungan karena saya belum mencapainya.”
Anda dapat memperkuat self-coach diri pada anggota tim Anda yang sedang mengalami demoralisasi dan demotivasi yang sebagian besar justru memunculkan self-critic. Misalnya, Anda bisa berkata, “Ini sangat penting bagimu, bukan?” atau “Saya dapat melihat betapa pentingnya hal ini bagi Anda.” Melihat emosi negatif sebagai suatu gebrakan atau ledakan yang dapat membantu menumbuhkan motivasi produktif.
Anda juga dapat memicu self-coach dengan membagikan cerita atau pengalaman Anda pada saat berhasil mengelola emosi melalui self-coach dan merasakan hal baik, alih - alih memunculkan self-critic. “Saya tidak kreatif” adalah singkatan dari “orang lain lebih kreatif daripada saya”. Sebagai seorang pemimpin, Anda dapat membantu mengurangi self-critic dengan secara terbuka berbagi pengalaman Anda kepada tim Anda tentang perjuangan dan pertumbuhan — momen-momen penting di mana Anda merasa tidak cukup baik dan kemudian mampu untuk maju.
3. Salurkan Energi Melalui Aktivitas Positif
Energi yang mendasari emosi negatif dapat disalurkan ke hal-hal yang dapat kita kendalikan dan produktif atau ke tujuan-tujuan yang sangat tidak produktif. Salah satu saluran yang tidak produktif untuk tim telah diidentifikasi oleh Rosamund Stone Zander dan Benjamin Zander, direktur musik Boston Philharmonic Orchestra, dalam buku mereka The Art of Possibility. Mereka menyebut jalan buntu ini sebagai “percakapan tanpa kesimpulan”. Alih-alih mengambil kendali, tim hanya berbicara tentang betapa buruknya keadaan. Percakapan seperti itu bisa jadi menggoda karena membangun rasa keterhubungan di antara peserta, namun pada akhirnya tidak menghasilkan apa-apa.
Sebaliknya, bantulah memberikan gambaran yang jelas tentang kesenjangan yang ada antara tindakan di masa depan dan tidak adanya tindakan di masa depan – dan gunakan perbedaan tersebut untuk menyalurkan energi ke dalam tindakan. Mulailah dengan meminta orang tersebut membayangkan bagaimana perasaannya jika tidak ada perubahan.
Dalam kasus mitra yang tidak lolos promosi, pertanyaannya adalah: “Bagaimana perasaan Anda dalam 90 hari jika Anda merenungkan masukan ini tanpa melakukan apa pun?”
“Mengerikan” adalah jawabannya.
“Dan bagaimana rasanya jika Anda bisa bertindak dan move on?”
“Seperti beban yang sangat besar terangkat,” katanya. Dan pada saat itu dia merasakan kesenjangan emosional antara tindakan dan tidak bertindak dan siap mengambil langkah positif ke depan.
Tidak mendapat promosi dan merasa dikhianati oleh rekan kerja adalah contoh besar dari emosi negatif yang ikut bermain. Namun masih banyak kejadian yang tidak terlalu parah yang bisa diatasi dengan pendekatan kepemimpinan ini. Ini adalah potongan kertas dalam kehidupan: pertemuan dengan klien berjalan buruk, sebuah proyek gagal mendapatkan persetujuan anggaran, keputusan strategis menciptakan pekerjaan dan frustrasi bagi semua orang. Dalam setiap kasus, ada manfaatnya dengan menyebutkan emosi tersebut (misalnya, “Saya tahu Anda frustrasi setelah pertemuan itu”) menghubungkannya dengan makna (“Proyek ini benar-benar penting bagi Anda, bukan?”) dan kemudian menyalurkan emosi yang dilepaskan tersebut. Energi untuk bertindak (“Bagaimana perasaan Anda jika kita dapat memasukkan hal ini kembali ke dalam agenda untuk tinjauan kuartal berikutnya? Menurut Anda, apa yang diperlukan untuk hal ini?”).
Emosi negatif memang menyakitkan, namun pemimpin dapat membantu mengubahnya menjadi sesuatu yang positif. Seperti yang diungkapkan oleh psikiater terkemuka asal Italia, Roberto Assagioli, dalam karyanya yang sangat penting, Psychosynthesis, “Mencoba menghilangkan rasa sakit hanya akan memperkuat cengkeramannya. Lebih baik kita mengungkap maknanya, memasukkannya sebagai bagian penting dari tujuan kita, dan memanfaatkan potensinya untuk melangkah maju.”